RINGKASAN AKHIR TAHUN 2020 KOMNAS PEREMPUAN
RINGKASAN
AKHIR TAHUN 2020 KOMNAS PEREMPUAN
Catatan
Tahunan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh berbagai
lembaga masyarakat maupun institusi pemerintah yang tersebar di hampir semua
Provinsi di Indonesia, serta pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas
Perempuan melalui Unit Pengaduan Rujukan maupun melalui surel (email) resmi
Komnas Perempuan, dalam kurun waktu satu tahun ke belakang.
Komnas
perempuan mengirimkan 757 lembar formulir kepada lembaga mitranya di seluruh
Indonesia. Tingkat respon pengembalian kuesioner tahun 2020 turun sekitar 50%
dikarenakan kondisi pandemi covid-19 yang penyesuaian pada sistem kerja layanan
memerlukan waktu untuk beradaptasi. Komnas Perempuan melakukan inovasi diantaranya,
penambahan pertanyaan tentang proses hukum, kondisi dan keberlangsungan Lembaga
layanan, serta pengumpulan data dalam format online (bukan lagi manual). Semua
itu memerlukan waktu untuk penyesuaian.
Dampaknya
adalah turunnya jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2020 sebesar 31%. Namun
demikian, turunnya jumlah kasus tidak dapat dikatakan sebagai berkurangnya
kasus kekerasan terhadap perempuan. Sejalan dengan hasil survei Komnas
Perempuan tentang dinamika Kekerasan Terhadap Perempuan di masa pandemik,
penurunan jumlah kasus dikarenakan korban tidak berani melapor karena dekat
dengan pelaku selama masa pandemik, korban cenderung mengadu pada keluarga atau
diam, persoalan literasi teknologi dan model layanan pengaduan yang belum siap
dengan kondisi pandemi. Sebagai contoh di masa pandemik, pengadilan agama
membatasi layanannya, serta membatasi proses persidangan.
Jumlah kasus
Kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus.
Data ini dihimpun
dari 3 sumber yakni :
1.
Dari
Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus.
2.
Dari
Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus
3.
Dari
Unit Pelayanan dan Rujukan, satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas
Perempuan, untuk menerima pengaduan langsung korban, sebanyak 2.389 kasus,
dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di
antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.
Lembaga
layanan non pemerintah atau Lembaga layanan dari masyarakat sipil pada masa
pandemi ini lebih banyak didatangi daripada lembaga layanan pemerintah. Hal ini
disinyalir karena lembaga layanan non pemerintah selama masa pandemi lebih bisa
menyesuaikan diri menghadapi perubahan sistem layanan yang ada, serta memiliki
fleksibilitas waktu dalam pelayanan.
Berdasarkan
data-data yang terkumpul dari Lembaga layanan/formulir pendataan Komnas
Perempuan sebanyak 8.234 kasus tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan
yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu
·
KDRT
dan Relasi Personal, yaitu sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat
kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (49%)
·
Kekerasan
dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua
·
Kekerasan
terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14%)
·
Kekerasan
oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
·
Kekerasan
terhadap perempuan di ranah komunitas/publik sebesar 21 % (1.731 kasus)
·
Kekerasan
seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari pencabulan (166 kasus),
perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5
kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain.
·
Kekerasan
terhadap perempuan di ranah dengan pelaku negara, kasus-kasus yang dilaporkan
sejumlah 23 kasus (0.1 %). Data berasal dari LSM sebanyak 20 kasus, WCC 2 kasus
dan 1 kasus dari UPPA (unit di Kepolisian). Kekerasan di ranah negara antara
lain adalah kasus perempuan berhadapan dengan hukum (6 kasus), kasus kekerasan
terkait penggusuran 2 kasus, kasus kebijakan diskriminatif 2 kasus, kasus dalam
konteks tahanan dan serupa tahanan 10 kasus serta 1 kasus dengan pelaku pejabat
publik.
Terdapat
kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang cukup ekstrim, diantaranya,
meningkatny angka dispensasi pernikahan anak sebesar 3 kali lipat yang tidak terpengaruh
oleh situasi pandemi, yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik sebesar
64.211 kasus di tahun 2020.
Demikian
pula angka kasus kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau
disingkat KBGS yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan yiatu dari 241
kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020.
Namun
ada hal yang berbeda dengan kasus inses. Meskipun jauh menurun di tahun 2020
yaitu sebesar 215 kasus, (tahun lalu 822 kasus), tetap perlu menjadi perhatian
besar karena secara berturut-turut muncul sejak tahun 2016 (sebelumnya tidak
ada). Perhatian tersebut diperlukan melihat pelaku inses terbesar adalah ayah kandung
sebesar 165 orang. Kasus inses adalah kekerasan seksual yang berat, di mana
korban akan mengalami ketidakberdayaan karena harus berhadapan dengan ayah atau
keluarga sendiri, kekhawatiran menyebabkan perpecahan perkawinan/konflik,
sehingga umumnya baru diketahui setelah inses berlangsung lama atau terjadi kehamilan
yang tidak dikehendaki.
Demikian
pula dengan marital rape sebesar 57 kasus yang menurun dibanding tahun lalu
yang mencapai 100 kasus. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh pandemik
Corona, dimana korban dalam lingkungan keluarga sulit melaporkan dikarenakan
kebijakan pembatasan sosial berskala besar menyebabkan korban dan pelaku sama-sama
berada di rumah, dan kesulitan melakukan pengaduan dan mengakses layanan.
Zalfa Cantika Rg [2043501432]
nicee...
BalasHapus